Kamis, 27 Mei 2010

The Language of My Pray

Ga sengaja lihat ada tulisan di secarik kertas yang terselip di buku adikku, "Mega Bela Fortuna". Ada puisi ini. Hehehe... Iseng lah si aku menulis ulang karyanya ini. 
. . .


THE LANGUAGE OF MY PRAY

Bagaimana lagi, bentuk ikhtiar yang mesti terkejar?
Karena kuakui, aku bingung tuk melangkah
Agar jalanku tetap hanif dalam gelar
Agar cinta-Nya kembali lagi dalam fitrah

Kuakui, langkahku memang salah
Karena kuberjalan semakin jauh dari fitrah
Dan akankah kurelakan?
Imanku kan jua hilang!

Begitu menyakitkan untuk merelakan nya pergi
Tapi, aku akan lebih sakit untuk kehilangan iman
Tak bisa kupungkiri bahwa ia sering kali kurindukan
Tetapi, aku lebih rindu untuk merindukan Sang Ar-Rahman

Ternyata Dia memang agung
Karena Dia lah sutradara yang ulung
Yang membuat strategi dalam rekaman dan permainan
Yang pada akhirnya akan terselesaikan

Tak kan lagi kupungkiri azam-ku
Tak kan kubiarkan lagi Dia berpaling dariku
Karena itu, ridhai lah langkahku
Agar aku dapat kembali bersama-Mu ya Rabb

Sudah kuputuskan..
Melepaskannya untuk kembali berjalan di Jalan-Mu yang penuh dengan cahaya terang
Yang diliputi dengan kesejukan yang senantiasa Engkau berikan untuknya

Ikhlaskan hatiku untuk-Mu, Ya Rabb
Maafkan aku andai ada luka hatinya yang kubuat
Tapi jadikan itu sebagai penguat
Untuk imannya, yang semoga Kau buat senantiasa tetap

Cukup.. Cukup..
Kulihat dia selalu ada di jalan_Mu , Ya Rabb
Dan cukup, aku selalu ada di dekat-Mu
Maka cinta ini akan terpenuhi oleh-Mu

Agar ..
Aku dapat mencintai dan berpisah dengannya karena Mu, Ya Rabb


. . .


Bandung, 26 Mei 2010
07:53 pm

Rabu, 26 Mei 2010

Pemberian Melahirkan Kepercayaan

Para pencinta sejati tidak suka berjanji.

Tapi begitu mereka memutuskan mencintai seseorang, mereka segera membuat rencana memberi.

Setelah itu mereka bekerja dalam diam & sunyi untuk mewujudkan rencana-rencana mereka. Setiap 1 rencana memberi terealisasi, setiap itu satu bibit cinta muncul bersemi dalam hati orang yang dicintai.

Janji menerbitkan harapan. Tapi pemberian melahirkan kepercayaan

(Anis Matta:2010)

Selasa, 11 Mei 2010

BIROKRASI FARMASI INDONESIA MASA DEPAN... AKANKAH KAMU YANG ADA DI SANA?!?!?

Temans, beberapa hari yang lalu (tepatnya pada May 4. 2010 at 9:39am ), salah seorang teman saya yang bernama "Sri Nurhayati " atau biasa kita kenal dengan panggilan "Mba Ichi" FA'04 memberi saya message via inbox FB. Isinya begini:

Ass...
Cit, ada yg tertarik masuk BPOM? nitip pesan untuk teman-teman yg berjiwa aktivis dan reformis, punya komitmen untuk bekerja dlm rangka ibadah, dan tak gentar dgn gaji kecil....MASUKLAH KE BPOM, kita perbanyak koloni-koloni anak ITB yang penuh dg idealisme.

Kita ubah wajah BPOM untuk tahun-tahun ke depan, wajah birokrasi obat negara ini. Udah terlalu banyak alumni ITB yang bekerja untuk industri, baik PMA maupun PMDN. Saatnya berjuang sesuai bidang kita.

Dulu kupikir masuk farmasi adalah salah jurusan tetapi kemudian aku sadar bahwa Tuhan telah menganugerahkan ilmu ini, jadi sekarang tinggal bagaimana kita amanah atas karunia tersebut.

Gading ganesha patah 1, katanya itu simbol pengabdian pada kemanusiaan. Mungkin kita butuh aktivis-aktivis farmasi yang mau berjuang untuk bangsanya dlm bidang obat. Cit....agaknya BPOM butuh anak-anak ITB yang telah terkaderisasi dengan baik, yang sanggup berjuang dari nol dan menggagas reformasi birokrasi yg sebenarnya.

Citra...terima kasih banyak atas tanggapannya nanti, tolong disebarkan wacana ini pada yang lain.

Aku inget salam ganesha : BAKTI KAMI UNTUKMU TUHAN, BANGSA, DAN ALMAMATER, MERDEKA!!!! (Merdeka dari segala kemudharatan, amin).

Cit..anak-anak ITB di BPOM butuh teman seperjuangan nih....
Wass...wr.wb.

. . .

Yups, itulah isi pesan singkat yang saya terima beberapa hari yang lalu. Dari seorang sahabat kita yang sudah lebih dulu terjun dan berkecimpung di dunia birokrasi regulasi obat dan makanan Indonesia (a.k.a BPOM).

Mangga buat teman-teman yang tertarik, bisa jadi bahan pertimbangan atau ingin menanggapi tentang ajakan untuk berpartisipasi juga di dunia birokrasi farmasi Indonesia di masa yang akan datang.

Indonesia masa depan adalah milik kita para pemuda saat ini!

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater...
MERDEKA!!!

. . .
diskusi di sini:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=387418351740

DWI - Catatan Harian Seorang Dokter (Dr. Faisal Baraas)

Dia kaya raya. Perusahaannya banyak. Rumahnya seperti istana. Apapun yang diinginkannya, selalu dengan mudah dapat diraihnya. Maka perlukah orang seperti dia berdoa lagi dalam hidupnya?

PERTANYAAN itu mengagetkan dirinya. Tak seorang pun sebelumnya selama ini mengajukan pertanyaan seperti itu. Atau paling tidak, bagi lelaki itu tak ada waktu untuk memikirkannya. Ia begitu sibuk mengurus semua perusahaannya.

“Bukannya saya tidak pernah berdoa,” kata Dwi, “tapi saya begitu sibuknya bekerja sehingga tak sempat lagi berdoa.”

Yang aneh adalah pertanyaan itu diajukan oleh seorang peminta-minta yang renta dan ringkih. Secara kebetulan mereka bertemu, pada suatu malam, di sebuah perempatan jalan Jakarta, ketika lampu lalu lintas menjadi merah. Pengemis itu mengetuk kaca mobilnya dengan perlahan. Entah mengapa, tiba-tiba Dwi terpana menatapi mata pengemis itu. Ia membuka kaca jendela mobilnya dan menyodorkan selembar uang kepada pengemis itu. Tapi pengemis itu menggeleng.

“Saya kenal Anda,” kata pengemis itu tiba-tiba, sambil menyentuh bahunya. “Anda kan yang tinggal di sana?”

Alangkah kaget Dwi mendengarnya. Suatu dorongan yang amat kuat dan tidak begitu disadarinya menyebabkannya minta berhenti di pinggir jalan.

“Pulanglah,” kata Dwi kepada sopirnya, “saya nati naik taksi.”

Dwi mengejar pengemis itu sampai di sebuah gang yang sempit dan agak gelap. Pengemis itu sangat aneh di matanya dan begitu menyita rasa ingin tahunya. Ada suatu dorongan yang tidak dimengertinya sama sekali menguasai langkahnya. Dan sementara itu, ia merasa tetap sadar apa yang sedang dilakukannya itu.

Walaupun ia sudah menyamar sedemikian rupa, tanpa disertai seorang pengawal pun, hanya ditemani sopirnya, dengan mobil yang sederhana, ternyata seorang pengemis renta masih dapat mengenali dirinya.

“Janganlah main-main,” kata Dwi mencegat pengemis itu. “Anda siapa?”

“Saya hanyalah seorang pengemis. Lain dengan Anda. Saya senang ketemu anda di sini. Bagaimana kalau kita jalan-jalan berdua menyusuri gang dan rumah-rumah di sekitar sini?”

Mereka lalu berjalan beriringan, perlahan-lahan. Gang sempit, becek, dan gaduh. Rumah-rumah gedek, yang berdesak-desak, berimpitan dan sesak. Orkes dangdut dari radio yang memenuhi udara malam dan melenggang-lenggok di jalanan. Anak-anak berlarian bermain petak umpet. Pedagang makanan menyeret rombongannya, sambil sekali-kali memukuli kuali atau piring yang tergantung di sisi rombong itu. Denyut kehidupan yang keras tapi intens masih terasa sampai jauh malam.

Malam pun kian tua, penuh keringat dan kian pekat. Di langit bulan memang termenung sendirian, kadang-kadang awan menyaputi wajahnya. Angin malam menyusup selintas dan menghilang.

Bau pesing menoreh hidungnya di sepanjang gang. Perutnya mual, tapi ditahannya untuk tidak muntah. Kepalanya sedikit pusing. Dalam hidupnya, baru pertama kali inilah Dwi menyusuri gang-gang sempit di Jakarta di malam selarut itu. Ia terkesima dan tak bisa berkata-kata menyaksikan denyut kehidupan yang ditemuinya. Ia hanya melangkah mengikuti pengemis tua itu.

“Ke manakah kita pergi?” suara Dwi tersekat pelan.

“Kita hanya jalan-jalan,” jawab pengemis itu tanpa menoleh.

Mereka terus berjalan, berputar-putar.

“Alangkah kumuh dan joroknya lingkungan di sini,” piker Dwi.

Ia ingat dengan lingkungan rumahnya yang asri dan bersih. Ia terus mengikuti langkah pengemis itu. Entah mengapa, ia terus mengikutinya. Pikirannya melayang-layang. Ketika tiba di sebuah gang yang agak gelap, pengemis renta itu mempercepat langkahnya, lalu berbelok ke kanan. Dwi mengejarnya. Dan pengemis itu raib, tak tampak lagi. Dwi menoleh ke sana kemari. Tapi pengemis itu lenyap bagaikan ditelan malam. Angin malam bertiup deras sekali.

Tiba-tiba didengarnya suara bisikan yang tak jelas asalnya.

“Dalam harta yang kita raih, ada hak orang lain di dalamnya. Betapa sering kita melupakannya…”

Dwi terbangun.

Beberapa hari kemudian dia datang ke poliklinik dan menceritakan mimpinya itu.
Di status, ia mencatatkan namanya. Dwi.

Diambil dari buku: “Catatan Harian Seorang Dokter” (Dr. Faisal Baraas). Bagian ‘Catatan di Rumah Sakit’, Judul ‘Dwi’ Hal 154-156.