Rabu, 29 September 2010

Sudah Gagal Kawin, Jadi Korban Salah Tangkap Pula!

Ada yang tahu Pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror? Pasti pada tahu lah ya! Wong akhir-akhir ini pamornya meningkat seiring semakin banyaknya teroris-teroris yang ditangkap (baik yang salah tangkap maupun yang benar tangkap! Hehehe… ^^v) oleh tim Densus 88 ini. Pamor tim Densus 88 sama tenarnya dengan KPK yang sudah banyak juga menangani kasus korupsi dan menguak aksi para koruptor.

Nah, pagi tadi saat membaca Koran TEMPO, ada artikel berita yang membuat saya tergelitik (campur aduk, prihatin, mau ketawa tapi kasian!). Ada-ada saja ulah tim Densus 88 ini, sampai-sampai efek perbuatannya merugikan orang lain. Ckckck.. Heuheu.. Beginilah nasib ‘Wong Cilik’ di negeriku yang lucu ini!

. . .

Sudah Gagal Kawin, Jadi Korban Salah Tangkap Pula

Apes betul nasib Wahono alias Bawor, warga Jalan Durian II, Jalan Imam Bonjol, Bandar Lampung. Ia ditangkap Pasukan Detasemen Khusus 88 Antiteror pada Sabtu malam dua pekan lalu. Selanjutnya, Ahad lalu, lajang 30 tahun itu dinyatakan sebagai korban salah tangkap oleh polisi dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan pada pertengahan Agustus lalu.

Sementara itu, pada Ahad itu pula, Siti Aliyanti, calon istri yang tak jadi dinikahi Wahono lantaran ia ditangkap polisi, tengah merayakan resepsi pernikahan dengan Teguh Subagyo, yang tak lain adalah adik tiri Wahono. Sebelumnya rapat keluarga memutuskan agar Teguh menggantikan Wahono sebagai pasangan hidup Siti Aliyanti dalam pernikahan yang digelar pada Rabu (22 September) lalu. “Itu jalan terbaik, dan kami telah sepakat,” kata Suparjo, orang tua Siti Aliyanti, kala itu.

“Harga diri kami hancur lebur. Sedih dan malu dengan kasus yang menimpa anak saya,” kata Nariyah, Ibu Wahono, kemarin, setelah tahu Wahono dibebaskan polisi karena salah tangkap. Kini keluarga Wahono dan Siti Aliyanti sama-sama dilanda kebingungan. Mereka tak mengerti apa yang harus dilakukan jika pria yang sehari-hari bekerja di bengkel sepeda motor itu benar-benar sudah sampai di rumah. “Tidak tahulah, Mas,” kata Nariyah sambil menyeka air mata.

Persoalan tambah ribet, lantaran polisi tak mau memulangkan Wahono ke Lampung, dan justru meminta pihak keluarga menjemputnya ke Jakarta. Persoalannya, Nariyah tak punya duit untuk ke Ibu Kota. “Polisi minta kami menjemput ke Jakarta, sedangkan kami kesulitan dana untuk menjemput,” kata wanita 50 tahun itu.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) menyatakan keprihatinannya atas nasib yang menimpa Wahono. Mereka yakin kasus tersebut akan berdampak pada pola kehidupan keluarga Wahono. Mereka yakin kasus tersebut akan berdampak pada pola kehidupan keluarga Wahono di masa mendatang. “Sungguh, kasus salah tangkap ini sangat tragis,” kata Haris Azhar, Koordinator Kontras, “Sudah saatnya POLRI mengevaluasi kinerja Densus 88. Banyak sudah korban salah tangkap atau mungkin salah tembak oleh pasukan khusus ini,” ia menambahkan.

Sumber : Koran TEMPO edisi Rabu, 29 September 2010

. . .

Bandung, 29 September 2010

08:30 pm

-Cegi yang masih berada di negeri yang lucu ini-

Kisah Pernikahan Ali Bin Thalib dan Fathimah Binti Rasulullah SAW (Oleh-oleh dari Resepsi Pernikahan Maman FA’04)

Awalnya memang niat ingin datang ke acara walimahannya Maman FA’04 (teman seangkatan saya di Farmasi ITB 2004), tapi apa daya ternyata ada tes yang harus saya ikuti pada hari yang sama, selain itu ga ada tebengan alias ga ada yang nganter kalo saya mau ke nikahannya Maman. Kalo pergi sendiri juga ga tahu tempat dan daerahnya dimana. Yowis lah, akhirnya Ahad pagi diputuskan untuk ga jadi berangkat ke nikahannya Maman.
Ahad siang jam 11 setelah tes di kampus selesai dijalani, langsung lah saya meluncur ke salman. Niatnya cuma buat ngadem dan berharap kali aja ketemu temen-temen lama disana (melepas rindu bersama teman-teman lama, itu juga kalo ketemu. Hehehe). Ehh, ternyata di sana ga sengaja ketemu Ani BI’04 yang sudah rapi dengan setelan ke kondangan. Pas nanya mau kemana, ternyata Ani dan anak-anak Karisma ITB mau pada ke kondangannya Maman. Spontan lah saat itu saya bilang ikut nebeng ke mereka. Alhasil berangkat juga saya bersama-sama anak-anak Karisma ITB (dengan komposisi yang bukan anak Karisma Cuma saya sendiri. Hehehehe..), bareng sama Ani BI’04, Yanda MS’04, Bebe FI’04, Uroh Ekbang Unpad’05, dan Midi BIO UNPAD’06.
Setelah melalui perjalanan cukup panjang, sampailah kami di TKP di daeah Melong, Cijerah. Langsunglah kami meluncur untuk bertemu dan bersalaman dengan Maman “Sang Pengantin“ dan istrinya. Tampak pancaran bahagia dari muka kedua pengantin yang selalu tersenyum berseri-seri. Hehehe, ya iya lah, udah halal gitu lho! Ploooong...^^v.
Nah, dari pernikahannya Maman dan Eka itu, kami mendapat souvenir pernikahan yaitu sebuah buku saku yang berisi Kisah Pernikahan Ali Bin Thalib dan Fathimah Binti Rasulullah SAW. Dan kisah ini yang ingin saya share kepada teman-teman sebagai oleh-oleh dari acara pernikahannya Maman.
. . .
Pernikahan Ali Bin Thalib dan Fathimah Binti Rasulullah SAW
[Motivasi Jiwa Bagi Perindu Cinta Sejati]


Ada rahasia terdalam di dalam hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun (bisa dikatakan Cinta Dalam Hati). Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang juga adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang Terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah berani ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaknya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallahu ‘Anhu. “Allah mengujiku rupanya“, begitu batin ‘Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tidak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berdakwah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekkah yang masuk islam karena sentuhan Abu Bakr, ‘Utsman, ‘Abdurahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan anak-anak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr, Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ‘’Inilah perasaudaraan dan cinta’’, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ‘Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar seorang lelaki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang mampu membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebatilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata.“Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar..“
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustrasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar telah berangat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah, “Wahai Quraisy“, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!“. ‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ‘Ali bngung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miiarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abdul ‘Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulullah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?“, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya. “Mengapa engka tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..“
“Aku?“, tanya ‘Ali tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku !“
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?“
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu. “
‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan! Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!“, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!“. Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?“
“Entahlah.. “
“Apa maksudmu?“
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?“
“Dasar tolol! Tolol!“, kata mereka, “Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!“
Dan ‘Ali pun menikahi fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali ‘Ali!“. Inilah jalan cinta para pejuang, Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menati. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah), Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda“.
‘Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan siapakah pemuda itu?“
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu!“.
. . .
Kemudian Rasulullah SAW mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak“.
[Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4]
. . .
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui“. (Q.S. An Nuur, 24: 32)
. . .
Maman & Eka
17 Syawal 1431 H
Cijerah
. . .

http://www.facebook.com/notes.php?id=1028835972&notes_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=432014761740

MELATI OH MELATI…



“Kalau datang ke kondangan nikah, jangan lupa minta bunga melatinya pengantin biar bisa kecipratan cepet nikah juga!”

Pernah ga denger atau tahu mitos-mitos seperti itu?!?!?
Katanya kalau kita datang ke kondangan orang nikah dan mengambil bunga melatinya, kita bakal kecipratan dan ketularan bakal cepet nikah juga. Hehehe…. Ada-ada aja ya!

Jadi teringat cerita tentang salah satu sepupu perempuanku. Sebut saja namanya Mawar.

Pada suatu hari setelah acara resepsi pernikahan adikku di Bulan Maret 2010 selesai, Mawar datang dan masuk ke dalam kamar pengantin dengan maksud pamitan pulang setelah bertugas jadi pager ayu.

Namun, saat memasuki kamar pengantin, ternyata tidak ada orang di sana. Tidak ada siapa-siapa! Tetapi ada satu benda yang menarik perhatian Mawar saat itu. Ada untaian bunga melati yang bekas dipakai pengantin ketika sedang resepsi. Tanpa berpikir panjang, diambilnya untaian melati itu. Dicopotnya dua bauh melati dari untaian itu. Satu melati disimpan di dompet dan satu melati disimpan di kantong baju yang sedang dipakai. Dan sisa melati dalam untaian disimpan lagi di atas kasur pengantin. Mawar berpikir dan berharap saat itu kali aja dia bjuga bisa kecipratan cepet nikah juga. Hehehehe…

Ssssssttt… tidak ada orang yang tahu saat itu Mawar mengambil 2 buah melati dari untaian melati pengantin tersebut. Hehehe…

Setelah itu, Mawar keluar kamar dan pulang, kembali menjalani kehidupan dan rutinitas seperti biasanya. Mawar pun tidak ingat akan bunga melati yang sudah diambilnya. Sampai suatu hari, Mawar hendak menyetrika baju-baju yang telah dicucinya. Dan pada saat itu, dia menemukan sebuah melati dari kantong baju yang akan disetrikanya. Bunga melatinya masih dalam kondisi yang baik dan belum mongering bahkan belum rusak, padahal bajunya sudah melewati proses pencucian. Langsung teringatlah Mawar kalau itu adalah melati yang diambil dari untaian melati pengantin adikku. Sambil merasa aneh karena melatinya masih bagus, Mawar pun memasukkan lagi melati itu ke kantong bajunya sambil tersenyum karena teringat hal konyol yang dilakukannya. Yaitu mengambil melati pengantin dan menyimpannya agar kecipratan cepet nikah juga.

Hari demi hari pun berlalu, Mawar sudah lupa pada melati yang dibawanya itu. Sampai suatu hari di akhir April 2010, datanglah pinangan dari seorang laki-laki pada Mawar. Dan akhirnya mereka pun menikah di bulan September 2010.

Di malam sebelum hari pernikahannya berlangsung, Mawar bercerita padaku bahwa pada saat setelah resepsi pernikahan adikku, dia mengambil 2 bunga melati yang ada di atas kasur pengantin dan selanjutnya bercerita seperti apa yang telah aku ceritakan di atas. Hehehe, saat itu ketika sepupuku bercerita, aku hanya tersenyum-senyum dan tertawa saja. Konyol memang! Tetapi bukan karena mitos itu benar sepupuku jadi cepat menikah! Takdir Allah lah yang menetapkan bahwa sepupuku itu dipinang akhir bulan April 2010 dan menikah pada bulan September 2010.

Jadi, jangan percaya mitos! Jangan percaya tahayul atau segala sesuatu yang menggadaikan kepercayaan kita pada ketetapan Allah! Segala sesuatu itu tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Semua sudah ada yang merencanakan. Dan Dialah Allah, Sang Maha Pembuat Rencana.

“… Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah…”. (Q.S. Ali Imran:154)

“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahu-Nya. Todak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)”. (Q.S. Al-Anam:59)