Selasa, 11 Mei 2010

DWI - Catatan Harian Seorang Dokter (Dr. Faisal Baraas)

Dia kaya raya. Perusahaannya banyak. Rumahnya seperti istana. Apapun yang diinginkannya, selalu dengan mudah dapat diraihnya. Maka perlukah orang seperti dia berdoa lagi dalam hidupnya?

PERTANYAAN itu mengagetkan dirinya. Tak seorang pun sebelumnya selama ini mengajukan pertanyaan seperti itu. Atau paling tidak, bagi lelaki itu tak ada waktu untuk memikirkannya. Ia begitu sibuk mengurus semua perusahaannya.

“Bukannya saya tidak pernah berdoa,” kata Dwi, “tapi saya begitu sibuknya bekerja sehingga tak sempat lagi berdoa.”

Yang aneh adalah pertanyaan itu diajukan oleh seorang peminta-minta yang renta dan ringkih. Secara kebetulan mereka bertemu, pada suatu malam, di sebuah perempatan jalan Jakarta, ketika lampu lalu lintas menjadi merah. Pengemis itu mengetuk kaca mobilnya dengan perlahan. Entah mengapa, tiba-tiba Dwi terpana menatapi mata pengemis itu. Ia membuka kaca jendela mobilnya dan menyodorkan selembar uang kepada pengemis itu. Tapi pengemis itu menggeleng.

“Saya kenal Anda,” kata pengemis itu tiba-tiba, sambil menyentuh bahunya. “Anda kan yang tinggal di sana?”

Alangkah kaget Dwi mendengarnya. Suatu dorongan yang amat kuat dan tidak begitu disadarinya menyebabkannya minta berhenti di pinggir jalan.

“Pulanglah,” kata Dwi kepada sopirnya, “saya nati naik taksi.”

Dwi mengejar pengemis itu sampai di sebuah gang yang sempit dan agak gelap. Pengemis itu sangat aneh di matanya dan begitu menyita rasa ingin tahunya. Ada suatu dorongan yang tidak dimengertinya sama sekali menguasai langkahnya. Dan sementara itu, ia merasa tetap sadar apa yang sedang dilakukannya itu.

Walaupun ia sudah menyamar sedemikian rupa, tanpa disertai seorang pengawal pun, hanya ditemani sopirnya, dengan mobil yang sederhana, ternyata seorang pengemis renta masih dapat mengenali dirinya.

“Janganlah main-main,” kata Dwi mencegat pengemis itu. “Anda siapa?”

“Saya hanyalah seorang pengemis. Lain dengan Anda. Saya senang ketemu anda di sini. Bagaimana kalau kita jalan-jalan berdua menyusuri gang dan rumah-rumah di sekitar sini?”

Mereka lalu berjalan beriringan, perlahan-lahan. Gang sempit, becek, dan gaduh. Rumah-rumah gedek, yang berdesak-desak, berimpitan dan sesak. Orkes dangdut dari radio yang memenuhi udara malam dan melenggang-lenggok di jalanan. Anak-anak berlarian bermain petak umpet. Pedagang makanan menyeret rombongannya, sambil sekali-kali memukuli kuali atau piring yang tergantung di sisi rombong itu. Denyut kehidupan yang keras tapi intens masih terasa sampai jauh malam.

Malam pun kian tua, penuh keringat dan kian pekat. Di langit bulan memang termenung sendirian, kadang-kadang awan menyaputi wajahnya. Angin malam menyusup selintas dan menghilang.

Bau pesing menoreh hidungnya di sepanjang gang. Perutnya mual, tapi ditahannya untuk tidak muntah. Kepalanya sedikit pusing. Dalam hidupnya, baru pertama kali inilah Dwi menyusuri gang-gang sempit di Jakarta di malam selarut itu. Ia terkesima dan tak bisa berkata-kata menyaksikan denyut kehidupan yang ditemuinya. Ia hanya melangkah mengikuti pengemis tua itu.

“Ke manakah kita pergi?” suara Dwi tersekat pelan.

“Kita hanya jalan-jalan,” jawab pengemis itu tanpa menoleh.

Mereka terus berjalan, berputar-putar.

“Alangkah kumuh dan joroknya lingkungan di sini,” piker Dwi.

Ia ingat dengan lingkungan rumahnya yang asri dan bersih. Ia terus mengikuti langkah pengemis itu. Entah mengapa, ia terus mengikutinya. Pikirannya melayang-layang. Ketika tiba di sebuah gang yang agak gelap, pengemis renta itu mempercepat langkahnya, lalu berbelok ke kanan. Dwi mengejarnya. Dan pengemis itu raib, tak tampak lagi. Dwi menoleh ke sana kemari. Tapi pengemis itu lenyap bagaikan ditelan malam. Angin malam bertiup deras sekali.

Tiba-tiba didengarnya suara bisikan yang tak jelas asalnya.

“Dalam harta yang kita raih, ada hak orang lain di dalamnya. Betapa sering kita melupakannya…”

Dwi terbangun.

Beberapa hari kemudian dia datang ke poliklinik dan menceritakan mimpinya itu.
Di status, ia mencatatkan namanya. Dwi.

Diambil dari buku: “Catatan Harian Seorang Dokter” (Dr. Faisal Baraas). Bagian ‘Catatan di Rumah Sakit’, Judul ‘Dwi’ Hal 154-156.

2 komentar:

  1. Seorang dokter bisa menulis sastra seperti ini? Aneh juga, dunia eksakta yang ditekuninya sangat jauh dari dunia sastra, kecuali dunia sosialnya diterjemahkan lewat sastra.

    Hebat2...

    BalasHapus